Minggu, 18 Januari 2015

ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI DAN KEMISKINAN

ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI DAN KEMISKINAN
LATAR BELAKANG

Berbicara tentang ilmu pengetahuan, teknologi dan kemiskinan tidak mustahil kita akan melihat ke masa lampau atau masa depan yang penuh dengan ketidakpastian. Yang mungkin permasalahannya adalah kontinuitas dan perubahan, harmoni dan disharmoni.

Teknologi dalam penerapannya sebagai jalur utama yang dapat menyonsong masa depan, sudah diberi kepercayaan yang mendalam. Dia dapat mempermudah kegiatan manusia, meskipun mempunyai dampak sosial yang muncul sering lebih penting artinya daripada kehebatan teknologi itu.

Kemiskinan sendiri merupakan tema sentral dari perjuangan bangsa, sebagai perjuangan yang akan memperoleh kemerdekaan bangsa dan motivasi fundamental dari cita-cita masyarakat adil dan makmur. Berbicara tentang kemiskinan akan menghadapkan kita pada persoalan lain, seperti persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok, posisi manusia dalam lingkungan sosial dan persoalan yang lebih jauh, bagaimana ilmu pengetahuan (ekonomi) dan teknologi memanfaatkan sumber daya alam untuk mengurangi kemiskinan di tengah masyarakat.

PEMBAHASAN

Teknologi

Menurut Walter Buckingham yang dimaksud dengan teknologi adalah ilmu pengetahuan yang diterapkan ke dalam seni industri, oleh karenanya mencakup alat-alat yang memungkinkan terlaksananya efisiensi kerja menurut keragaman kemampuan.

Definisi lainnya, teknologi adalah pemanfaatan ilmu untuk memecahkan suatu masalah dengan cara mengerahkan semua alat yang sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan skala nilai yang ada. Kalau ilmu dasar bertujuan untuk mengetahui lebih banyak dan memahami lebih mendalam tentang alam semesta dengan isinya, teknologi bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah praktis serta untuk mengatasi semua kesulitan yang mungkin dihadapi manusia.

Hubungan ilmu pengetahuan dengan teknologi sering diungkapkan sebagai berikut “Ilmu tanpa teknologi adalah steril dan teknologi tanpa ilmu adalah statis (Ilmu tanpa teknologi tidak berkembang dan teknologi tanpa ilmu tidak berakar)”.

Yang dimaksud dengan teknologi tepat guna adalah suatu teknologi yang telah memenuhi tiga syarat utama yaitu :

1. Persyaratan Teknis
  • Memperhatikan kelestarian tata lingkungan hidup, menggunakan sebanyak mungkin bahan baku dan sumber energi setempat dan sesedikit mungkin menggunakan bahan import.
  • Jumlah produksi harus cukup dan mutu produksi harus diterima oleh pasar yang ada.
  • Menjamin agar hasil dapat diangkut ke pasaran dan masih dapat dikembangkan, sehingga dapat dihindari kerusakan atas mutu hasil.
  • Memperlihatkan tersedianya peralatan serta operasi dan perawatannya.
2. Persyaratan Sosial
  • Memanfaatkan keterampilan yang sudah ada.
  • Menjamin timbulnya perluasan lapangan kerja yang dapat terus menerus berkembang.
  • Menekan seminimum mungkin pergeseran tenaga kerja yang mengakibatkan bertambahnya pengangguran.
  • Membatasi sejauh mungkin timbulnya ketegangan sosial dan budaya dengan mengatur agar peningkatan produksi berlangsung dalam batas-batas tertentu sehingga terwujud keseimbangan sosial dan budaya yang dinamis.
3. Persyaratan Ekonomik
  • Membatasi sedikit mungkin kebutuhan modal.
  • Mengarahkan pemakaian modal agar sesuai dengan rencana pengembangan lokal, regional dan nasional.
  • Menjamin agar hasil dan keuntungan akan kembali kepada produsen.
  • Dapat mengarahkan lebih banyak produsen ke arah cara penghitungan ekonomis yang sehat.
Teknologi selain menimbulkan dampak positif bagi kehidupan manusia, terutama mempermudah pelaksanaan kegiatan dalam hidup, juga memiliki berbagai dampak negatif jika tidak dimanfaatkan secara baik. Contoh masalah akibat perkembangan teknologi adalah kesempatan kerja yang semakin kurang sementara angkatan kerja makin bertambah, masalah penyediaan bahan-bahan dasar sebagai sumber energi yang berlebihan dikhawatirkan akan merugikan generasi yang akan datang.

Kemiskinan

Kemiskinan pada dasarnya merupakan salah satu bentuk problema yang muncul dalam kehidupan masyarakat, khususnya pada negara-negara yang sedang berkembang. Kemiskinan yang dimaksud adalah kemiskinan dalam bidang ekonomi. Dikatakan berada di bawah garis kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian dan tempat berteduh. Atau dengan pendapat lain, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Kemiskinan bukanlah suatu yang terwujud dengan sendiri terlepas dari aspek-aspek lainnya, tetapi kemiskinan itu terwujud sebagai hasil interaksi antara berbagai aspek yang ada dalam kehidupan manusia. Terutama aspek sosial dan aspek ekonomi. Aspek sosial adalah adanya ketidaksamaan sosial di antara sesama warga masyarakat yang bersangkutan, seperti perbedaan suku bangsa, ras, kelamin, usia yang bersumber dari corak sistem pelapisan yang ada dalam masyarakat. Sedangkan aspek ekonomi adalah adanya ketidaksamaan di antara sesama warga masyarakat dalam hak dan kewajiban yang berkenaan dengan pengalokasian sumber-sumber daya ekonomi.

Sementara itu klasifikasi atau penggolongan seseorang atau masyarakat dikatakan miskin ditetapkan dengan menggunakan tolak ukur utama, yaitu :

1. Tingkat pendapatan

Misalkan saja di Indonesia, tingkat pendapatan digunakan ukuran kerja waktu sebulan. Dengan adanya tolak ukur ini, maka jumlah dan siapa yang tergolong dalam orang miskin dapat diketahui. Atau dengan menggunakan batas minimal jumlah kalori yang dikonsumsi, yang diambil persamaannya dalam kg beras.

2. Kebutuhan relatif per-keluarga

Dibuat berdasarkan atas kebutuhan minimal yang harus dipenuhi dalam sebuah keluarga agar dapat melangsungkan kehidupannya secara sederhana tetapi memadai sebagai warga masyarakat yang layak.

Jika dikaitkan dengan kemakmuran, maka ada dua persepsi masyarakat yang cukup berlawanan tentang hal ini. Persepsi pertama adalah yang berpikir rasional dan eksak. Bahwa kemakmuran seseorang diukur dengan jumlah serta nilai bahan-bahan dan barang-barang yang dimiliki atau dikuasai untuk memelihara dan menikmati hidupnya. Semakin banyak jumlah dan makin tinggi nilainya, maka akan makin tinggi taraf kemakmuran hidupnya. Sedangkan persepsi kedua adalah pandangan masyarakat umum, terutama pedesaan. Mereka beranggapan bahwa kemakmuran tidaklah berbeda dengan kebahagiaan. Seseorang akan merasa makmur bila sudah ada keserasian antara keinginan-keinginan dan keadaan materil atau sosial yang dimiliki atau dikuasainya. Karenanya mereka selalu berusaha untuk menyeimbangkan antara keinginan dan keadaan materinya. Jika keinginan mereka berlebih, sementara keadaan materil mereka tidak mencukupi maka mereka harus mengurangi keinginan yang ada. Begitu juga sebaliknya.

Kemiskinan menurut pendapat umum dapat dikategorikan ke dalam 3 kelompok, yaitu :

1. Kemiskinan yang disebabkan aspek badaniah atau mental seseorang. Pada aspek badaniah, biasanya orang tersebut tidak bisa berbuat maksimal sebagaimana manusia lainnya yang sehat jasmani. Sedangkan aspek mental, biasanya mereka disifati oleh sifat malas bekerja dan berusaha secara wajar, sebagaimana manusia lainnya.

2. Kemiskinan yang disebabkan oleh bencana alam. Biasanya pihak pemerintah menempuh dua cara, yaitu memberi pertolongan sementara dengan bantuan secukupnya dan mentransmigrasikan ke tempat hidup yang lebih layak.

3. Kemiskinan buatan atau kemiskinan struktural. Selain disebabkan oleh keadaan pasrah pada kemiskinan dan memandangnya sebagai nasib dan takdir Tuhan, juga karena struktur ekonomi, sosial dan politik.

Usaha memerangi kemiskinan dapat dilakukan dengan cara memberikan pekerjaan yang memberikan pendapatan yang layak kepada orang-orang miskin. Karena dengan cara ini bukan hanya tingkat pendapatan yang dinaikkan, tetapi harga diri sebagai manusia dan sebagai warga masyarakat dapat dinaikkan seperti warga lainnya. Dengan lapangan kerja dapat memberikan kesempatan kepada mereka untuk bekerja dan merangsang berbagai kegiatan-kegiatan di sektor ekonomilainnya.

Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Kaitannya Dengan Kemiskinan

Ilmu pengetahuan, teknologi dan kemiskinan memiliki kaitan struktur yang jelas. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan dua hal yang tak terpisahkan dalam peranannya untuk memenuhi kebutuhan insani. Ilmu pengetahuan digunakan untuk mengetahui “apa” sedangkan teknologi mengetahui “bagaimana”. Ilmu pengetahuan sebagai suatu badan pengetahuan sedangkan teknologi sebagai seni yang berhubungan dengan proses produksi, berkaitan dalam suatu sistem yang saling berinteraksi. Teknologi merupakan penerapan ilmu pengetahuan, sementara teknologi mengandung ilmu pengetahuan di dalamnya.

Bila ditelaah, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penerapannya, keduanya menghasilkan suatu kehidupan di dunia (satu dunia), yang diantaranya membawa malapetaka yang belum pernah dibayangkan. Padahal manusia dalam pekerjaan ilmiahnya tidak hanya bekerja dengan akal budinya, melainkan dengan seluruh eksistensinya. Oleh karena itu, ketika manusia sudah mampu membedakan ilmu pengetahuan (kebenaran) dengan etika (kebaikan), maka kita tidak dapat netral dan bersikap netral terhadap penyelidikan ilmiah. Sehingga dalam penerapan atau mengambil keputusan terhadap sikap ilmiah dan teknologi, terlebih dahulu mendapat pertimbangan moral dan ajaran agama. Ilmuwan selaku ahli teknologi harus bersikap mempunyai tanggung jawab sosial, yakni tanggung jawab terhadap masyarakat menyangkut asas moral mengenai penelitian etis terhadap obyek penelaahankeilmuan dan penggunaan pengetahuan ilmiah (teknologi) dengan segala akibat sosialnya.

Dalam hal kemiskinan struktural, ternyata adalah buatan manusia terhadap manusia lainnya yang timbul dari akibat dan dari struktur politik, ekonomi, teknologi dan sosial buatan manusia pula. Perubahan teknologi yang cepat mengakibatkan kemiskinan, karena mengakibatkan terjadinya perubahan sosial yang fundamental. Sebab kemiskinan diantaranya disebabkan oleh struktur ekonomi, dalam hal ini pola relasi antara manusia dengan sumber kemakmuran, hasil produksi dan mekanisme pasar. Kesemuanya merupakan sub sistem atau sub struktur dari sistem kemasyarakatan. Termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan dan teknologi.

KESIMPULAN

Ilmu pengetahuan, teknologi dan kemiskinan adalah sesuatu yang bertentangan. Teknologi diciptakan oleh manusia demi kesejahteraan umat manusia dan untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan arti menciptakan, mencari kesenangan manusia, melindungi dari malapetaka, kelaparan, melindungi dari bahaya kekejaman alam serta memenuhi kebutuhan pokok manusia.

Ilmu pengetahuan, teknologi dan kemiskinan memiliki kaitan struktur yang jelas, sebab bagi siapa saja yang bisa menguasai IPTEK maka ia akan bisa maju dan berkembang di era globalisasi sekarang ini. Dan bagi yang tidak bisa menguasai IPTEK maka akan tertinggal jauh oleh pesatnya perkembangan zaman. Bila perkembangan zaman terus melaju pesat sedangkan ada masyarakat yang buta dengan IPTEK maka mereka akan tertinggal dan mungkin saja bisa menjadi miskin karena cara lama yang mereka gunakan sudah tidak efektif dan efisien lagi di zaman sekarang ini.

SARAN

Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan sehari-hari harus memperhatikan banyak hal sehingga dapat betul-betul bermanfaat bagi kehidupan manusia tanpa menimbulkan dampak yang begitu berbahaya.

Sumber :

Kamis, 15 Januari 2015

DISKRIMINASI DALAM DUNIA PENDIDIKAN

Pendidikan merupakan hal yang kompleks bagi kehidupan manusia dan perkembangan peradabannya. Pendidikan tidak saja memainkan peran penting dalam mencerdaskan manusia secera intelektual, tetapi juga merupakan sarana pembentukan sejati berkarakter baik, bermoral, berwawasan luas serta ‘penyetaraan’. Hal yang terakhir ini sangat jarang dibahas. Penyetaraan yang saya maksudkan di sini adalah peran pendidikan dalam memberikan kesamaan dan kesetaraan manusia dalam hal martabat dan kedudukan sosial di masyarakat. 

Namun, bagaimana jika pendidikan dianggap sebagai sarana meninggikan diri bukan untuk tujuan mulia untuk memajukan bangsa ini? Inilah fenomena yang sering dihadapi dalam dunia pendidikan akhir-akhir ini. Pelaku pendidikan kadang saling tidak menghargai dan menganggap dirinya tinggi karena gelar akademik yang disandangnya atau karena berasal dari sekolah/jurusan/progdi pilihannya favorit. Pendidikan tidak lagi difungsikan sesuai dengan tujuan utama pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang seharusnya menjadi sarana penyetaraan umat manusia malah menjadi sarana untuk menindas dan merendahkan sesama. Orang yang bergelar tinggi tidak menghargai orang lain yang mempunyai gelar di bawahnya atau mungkin tidak bergelar akademik. Tindakan-tindakan ini kita kenal dengan istilah yang disebut diskriminasi. 

Apa itu diskriminasi? 

Diskriminasi adalah perilaku menerima atau menolak sesorang semata-mata berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok (Sears, Freedman & Peplau, 1999). 

Diskriminasi bisa terjadi tanpa adanya prasangka dan sebaliknya seseorang yang berprasangka juga belum tentu akan mendiskriminasikan (Duffy & Wong, 1996). Akan tetapi selalu terjadi kecenderungan kuat bahwa prasangka melahirkan diskriminasi. Prasangka menjadi sebab diskriminasi manakala digunakan sebagai rasionalisasi diskriminasi. Artinya prasangka yang dimiliki terhadap kelompok tertentu menjadi alasan untuk mendiskriminasikan kelompok tersebut. 

Pada kesempatan kali ini saya akan membahas beberapa contoh diskriminasi dalam dunia pendidikan yang terjadi di Indonesia. 

DISKRIMINASI DALAM DUNIA PENDIDIKAN 
Beberapa waktu yang lalu ada calon siswa yang dinyatakan tidak dapat diterima di sebuah sekolah karena menderita cacat fisik. Padahal dari hasil tes masuk, si calon siswa mendapatkan nilai yang cukup tinggi dan kecacatannya tidak mengganggu aktivitas belajar si anak. Kasus ini mencuat dan memicu demonstrasi dan pemberitaan di media massa. Begitu banyak pihak yang peduli dengan kasus diskriminasi ini. 

Diskriminasi seperti yang terjadi di Palangkaraya pada kasus di atas, hanyalah satu dari sekian banyak macam diskriminasi yang dialami oleh siswa sekolah dalam dunia pendidikan, akan tetapi tidak banyak masyarakat yang peduli dengan diskriminasi yang lain karena masyarakat menganggap itu adalah hal yang wajar. 

Di Pangkalan Bun terjadi seorang calon siswa yang sudah berumur tujuh tahun tidak dapat diterima di sebuah sekolah dasar karena tidak lulus tes skolastik. Padahal ada calon siswa yang berumur lebih muda akan tetapi diterima di sekolah tersebut karena lulus tes skolastik. Ini tentu merupakan sebuah diskriminasi juga walaupun kemudian akan ada pihak yang berkelit bahwa sekolah dasar tersebut adalah sekolah favorit dan sekolah percontohan. Kemudian masyarakat diam dan memakluminya. 

Kalau kita mau jeli, sebenarnya pendirian sekolah percontohan, sekolah model, atau sekolah unggulan sebenarnya merupakan sebuah perlakuan diskriminasi oleh pemerintah dan dinas pendidikan. Ini dapat dilihat dari berlimpahnya fasilitas sekolah unggulan yang terletak di pusat-pusat kota saja. Mengapa pemerintah hanya memperhatikan kelengkapan sarana dan prasarana hanya untuk beberapa sekolah saja. Apakah sekolah lain tidak bisa menjadi sekolah seperti itu. Bagaimana diskriminasi ini terjadi dan nyata jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah di pinggiran. Sekolah dengan fasilitan yang seadanya dengan gedung kelas yang hampir roboh yang banyak diberitakan di media massa kita. 

Lain halnya jika sebuah sekolah menjadi unggulan karena memang dibangun oleh dirinya sendiri. Sekolah diberi kepercayaan mengelola dana dengan jumlah yang sama, kemudian diadakan evaluasi pada akhir tahun. Jika terbukti pengelolaannya baik, bisa dipertahankan dengan pengelontoran dana yang lebih besar dibanding sekolah lain tapi dengan diskriminan dana yang tidak terlalu besar. Tentu saja penggelontoran dana itu bukan untuk pembangunan fisik, tapi untuk semakin meningkatkan akselerasi pendidikan dan pembelajaran. 

Diskriminasi pendidikan dalam bentuk lain adalah pembagian kelas dengan kelas untuk siswa berprestasi akademik tinggi dan kelas dengan siswa dengan prestasi rata-rata. Sekolah yang menciptakan diskriminasi semacam ini akan menciptakan proses belajar yang diskriminan. Ini terjadi karena guru merasa nyaman mengajar di kelas unggulan dan merasa terbebani jika mengajar di kelas reguler. Akibat berikutnya, guru juga akan memberi perhatian lebih kepada siswa di kelas unggulan. 

Efek psikologis bagi siswa yang duduk di kelas reguler adalah merasa rendah diri, sedangkan pada siswa yang duduk di kelas unggulan akan merasa sombong. Lebih berbahaya lagi jika ketika naik kelas, keadaan semacam ini terus dipertahankan. Dari segi kontak sosial, siswa dengan siswa dari kelas lain akan semakin jauh, tidak saling mengenal, walaupun sekolah di sekolah yang sama. Ini akan berbahaya jika kemudian tertanam pada diri anak bahwa manusia ternyata berbeda. Dia akan bersikap diskriminatif juga terhadap orang lain. 

Ada memang pejabat yang mengatakan bahwa membina satu sekolah unggulan lebih baik daripada membangun seluruh sekolah supaya menjadi unggul adalah cara pandang yang picik. Tidak ada teori yang mengatakan bahwa siswa dari pusat pemerintahan lebih unggul dibanding siswa dari daerah pinggiran. Bahkan peserta olimpiade sains cukup banyak yang datang dari daerah. 

Pejabat yang berkata seperti itu, adalah pejabat yang ingin kelihatan bagus, karena berhasil mengunggulkan beberapa sekolah baik. Akan tetapi sebenarnya itu adalah bentuk tidak bertanggungjawabnya si pejabat karena tidak sanggup mengelola pendidikan sehingga menjadi bermutu. 

Kita bisa melihat, bagaimana pemerintah mendiskriminasikan juga untuk anak-anak di daerah yang jumlah peserta didiknya sedikit dengan memberikan bantuan jumlah guru yang sedikit juga. Padahal kita tahu, untuk tingkat SMP dan SMA, guru mata pelajaran tidak mungkin mengajarkan materi pelajaran yang bukan merupakan keahliannya. Guru juga tidak mungkin diporsir untuk bekerja tanpa istirahat karena harus mengajar kelas yang tertlalu banyak. Adanya standarisasi yang direncanakan oleh pemerintah semestinya disambut dengan baik. Pelaksanaan yang dilakukan secara bertahap bisa dimaklumi jika ada pembatasan waktu seperti model SWOT yang cukup dikuasai oleh para penentu kebijakan dalam dunia pendidikan. 

Saya rasa jangan ada lagi diskriminasi dalam dunia pendidikan. Merubah pandangan akan tujuan pendidikan yang sebenarnya. Pendidikan itu untuk kesetaraan bukan penindasan. Hal-hal berbau diskriminatif dalam dunia pendidikan tidak selayaknya dipertahankan dan dibiarkan membudaya. Hendaknya pelaku pendidikan jangan hanya menjadi penonton, namun giat dan untuk sebuah reformasi dalam diri sendiri dan bagi lingkungan kita masing-masing. Semoga saja untuk kedepannya pemerintahan kita khususnya dalam bidang pendidikan dapat lebih adil dan lebih baik lagi. Maju dunia pendidikan Indonesia. Stop diskriminasi dunia pendidikan! 

Sumber :